“You are imperfect, permanently and inevitably flawed. And you are beautiful.”
-Amy Bloom
Sejak kecil, perempuan belajar untuk mencintai kecantikan. Dengan sendirinya, dalam diri setiap perempuan ada keinginan untuk menjadi cantik. Sebagian menunjukkannya dengan merawat penampilan fisik, sebagian lagi lebih menyukai ide kecantikan yang terpancar dari dalam. Sebagian mencari pengakuan kecantikan dari rambut panjang, kulit putih, tubuh langsing, kuku terawat, dan make-up. Sebagian lagi menyukai pengakuan cantik yang terlihat dari kepintaran, kemandirian, kelemahlembutan, dan rasa keibuan. Setiap perempuan seperti mempunyai rahasianya sendiri untuk menjadi cantik. Tapi, benarkah menghargai kecantikan fisik itu ‘dangkal’?
Cantik fisik seringkali dianggap sebagai jalan untuk mengaktualisasikan diri, terutama bagi perempuan yang banyak dituntut untuk tampil cantik setiap saat. Hal ini wajar saja. Manusia memang peduli pada penampilan fisiknya. Nancy Etkoff, seorang psikolog dari Harvard University, menjelaskan bahwa penampilan fisik adalah bagian paling publik dari kita sebagai pribadi. Kita pertama-tama memberikan kesan mengenai kepribadian kita dari cara kita berpenampilan. Karenanya, mudah bagi kita untuk merasa cemas akan penampilan fisik yang kita tunjukkan. Selain itu, ketertarikan akan kecantikan fisik merupakan cara manusia menerjemahkan insting biologisnya untuk beranakcucu. Misalnya, bentuk tubuh berlekuk pada perempuan dinilai erat kaitannya dengan kemampuan ia memberikan keturunan.
Menurut Etkoff, tidak ada salahnya bila seorang perempuan terlebih-lebih ingin tampil cantik secara fisik. Misalnya dengan menjaga berat badan, perawatan di salon, menggunakan make-up untuk ‘memperbaiki’ bentuk wajah, dan lain sebagainya. Namun, orang bisa saja pergi ke salon setiap hari untuk merawat diri tanpa pernah merasa cantik. Hal ini dikarenakan ia tidak berhasil menghayati kecantikan yang ia punya. Biasanya hal tersebut dikarenakan ia terlalu fokus pada hal-hal yang tidak ia senangi dari dirinya. Ibaratnya, saat sedang berkaca, ia hanya melihat kekurangan-kekurangan yang ada dalam dirinya. Entah pipinya terlalu tirus, matanya tidak sama besar, pada betapa tidak rapinya alis kita, hidung yang sama sekali tidak mancung, atau bibirnya tidak cukup ‘penuh’. Padahal, menemukan satu titik fisik yang kita hargai cantik itu penting. Ketika melihat sesuatu yang cantik, otak akan teraktivasi untuk meningkatkan mood positif kita.
Salah satu hal krusial dalam menghargai kecantikan fisik pribadi adalah kecenderungan perempuan untuk membandingkan dirinya dengan orang lain. Valeri Monroe, kontributor kolom kecantikan untuk majalah O, pernah menuliskan pengalaman bagaimana ia selama bertahun-tahun terjebak dalam kompetisi untuk mengalahkan kecantikan ibunya. Menurutnya, perempuan memang punya kecenderungan untuk berada di dalam kompetisi kecantikan imajiner yang dibuatnya sendiri. Lebih sering, hal tersebut dikarenakan adanya nilai-nilai kecantikan fisik yang dipromosikan oleh masyarakat yang membuat kita terpaku pada standar kecantikan tertentu. Seperti misalnya, anggapan bahwa bekulit putih lebih cantik daripada berkulit gelap atau rambut lurus lebih manis daripada rambut ikal. Dari stigma-stigma kecantikan itulah perempuan harus belajar melepaskan diri dan lebih berusaha untuk menghayati kecantikannya sendiri.
Pada intinya, kecantikan fisik tidak terletak pada apa yang terlihat, melainkan pada bagaimana kita memandang apa yang terlihat. Juga terletak pada perasaan, “Ya, saya cantik.” Apabila saat berkaca Anda tidak berhasil menemukan hal yang Anda suka, cobalah untuk tersenyum pada diri sendiri! Senyum mempunyai efek timbal balik yang menyenangkan untuk diri Anda. Hanya dengan mengembangkan senyum, otak akan mendapat mood-booster seketika. Siapa tahu, berangkat dari situ, Anda kemudian mendapat inspirasi menemukan titik-titik fisik Anda yang cantik. Dalam bahasa Lemony Snicket, titik-titik cantik itu bisa jadi seperti jerawat. Ketika Anda mencoba mencari satu di wajah Anda, ternyata malah ada banyak. Satu saja Anda berusaha mencari kebanggaan fisik Anda, ternyata malah ada banyak!
Cantik fisik seringkali dianggap sebagai jalan untuk mengaktualisasikan diri, terutama bagi perempuan yang banyak dituntut untuk tampil cantik setiap saat. Hal ini wajar saja. Manusia memang peduli pada penampilan fisiknya. Nancy Etkoff, seorang psikolog dari Harvard University, menjelaskan bahwa penampilan fisik adalah bagian paling publik dari kita sebagai pribadi. Kita pertama-tama memberikan kesan mengenai kepribadian kita dari cara kita berpenampilan. Karenanya, mudah bagi kita untuk merasa cemas akan penampilan fisik yang kita tunjukkan. Selain itu, ketertarikan akan kecantikan fisik merupakan cara manusia menerjemahkan insting biologisnya untuk beranakcucu. Misalnya, bentuk tubuh berlekuk pada perempuan dinilai erat kaitannya dengan kemampuan ia memberikan keturunan.
Menurut Etkoff, tidak ada salahnya bila seorang perempuan terlebih-lebih ingin tampil cantik secara fisik. Misalnya dengan menjaga berat badan, perawatan di salon, menggunakan make-up untuk ‘memperbaiki’ bentuk wajah, dan lain sebagainya. Namun, orang bisa saja pergi ke salon setiap hari untuk merawat diri tanpa pernah merasa cantik. Hal ini dikarenakan ia tidak berhasil menghayati kecantikan yang ia punya. Biasanya hal tersebut dikarenakan ia terlalu fokus pada hal-hal yang tidak ia senangi dari dirinya. Ibaratnya, saat sedang berkaca, ia hanya melihat kekurangan-kekurangan yang ada dalam dirinya. Entah pipinya terlalu tirus, matanya tidak sama besar, pada betapa tidak rapinya alis kita, hidung yang sama sekali tidak mancung, atau bibirnya tidak cukup ‘penuh’. Padahal, menemukan satu titik fisik yang kita hargai cantik itu penting. Ketika melihat sesuatu yang cantik, otak akan teraktivasi untuk meningkatkan mood positif kita.
Salah satu hal krusial dalam menghargai kecantikan fisik pribadi adalah kecenderungan perempuan untuk membandingkan dirinya dengan orang lain. Valeri Monroe, kontributor kolom kecantikan untuk majalah O, pernah menuliskan pengalaman bagaimana ia selama bertahun-tahun terjebak dalam kompetisi untuk mengalahkan kecantikan ibunya. Menurutnya, perempuan memang punya kecenderungan untuk berada di dalam kompetisi kecantikan imajiner yang dibuatnya sendiri. Lebih sering, hal tersebut dikarenakan adanya nilai-nilai kecantikan fisik yang dipromosikan oleh masyarakat yang membuat kita terpaku pada standar kecantikan tertentu. Seperti misalnya, anggapan bahwa bekulit putih lebih cantik daripada berkulit gelap atau rambut lurus lebih manis daripada rambut ikal. Dari stigma-stigma kecantikan itulah perempuan harus belajar melepaskan diri dan lebih berusaha untuk menghayati kecantikannya sendiri.
Pada intinya, kecantikan fisik tidak terletak pada apa yang terlihat, melainkan pada bagaimana kita memandang apa yang terlihat. Juga terletak pada perasaan, “Ya, saya cantik.” Apabila saat berkaca Anda tidak berhasil menemukan hal yang Anda suka, cobalah untuk tersenyum pada diri sendiri! Senyum mempunyai efek timbal balik yang menyenangkan untuk diri Anda. Hanya dengan mengembangkan senyum, otak akan mendapat mood-booster seketika. Siapa tahu, berangkat dari situ, Anda kemudian mendapat inspirasi menemukan titik-titik fisik Anda yang cantik. Dalam bahasa Lemony Snicket, titik-titik cantik itu bisa jadi seperti jerawat. Ketika Anda mencoba mencari satu di wajah Anda, ternyata malah ada banyak. Satu saja Anda berusaha mencari kebanggaan fisik Anda, ternyata malah ada banyak!
0 comments:
Post a Comment