Sudahkah Anda berbohong hari ini? Saya sudah. Saya sudah berbohong bahwa
tentang alasan datang terlambat kepada seorang teman. Kemarin saya juga
berbohong, walaupun sedikit. Kebohongan dilakukan oleh seorang individu yang
sudah masuk dalam keseharian itu dinyatakan oleh Leonard Saxe, Ph.D., seorang
profesor di Psikologi Universitas Brandeis mengatakan, “Berbohong sudah lama
menjadi bagian dalam hidup. Kita tidak dapat melewati hari tanpa menipu
seseorang.”
Jauh menjadi diri dewasa kita sekarang, seorang individu sudah berbohong
semenjak umur tiga tahun. Anak-anak berbohong agar mereka dapat menghindari
hukuman. Alasan individu berbohong adalah untuk melindungi diri sendiri dan
menutupi kesalahan yang diperbuat. Selain itu, anak-anak juga diajarkan untuk
berbohong oleh orang dewasa di sekitarnya seperti ‘Bilang Ayah tidak ada di
rumah’ dan juga anak diajarkan berbohong untuk menjaga perasaan orang lain,
misalnya ‘Bilang ke Tante Nina kalau kuenya enak.’ Fenomena ini biasa disebut
white lies.
Namun fenomena keseharian ini jarang dikaji oleh para psikolog. Freud
sendiri hanya menulis secara singkat sekali di buku Encyclopedia of
Psychology (1984) yang jumlah halamannya sebanyak 1500 tentang
aktivitas menipu ini. Tetapi bagi para psikolog yang memperdalam tentang
berbohong, mereka menemukan bahwa berbohong adalah sebuah fenomena yang umum
sekaligus rumit.
Seorang psikolog di Universitas Virginia, Bella DePaulo, Ph.D.,
mengkonfirmasi pernyataan Nietzsche bahwa berbohong adalah sebuah kondisi dalam
hidup. Dalam penelitian tahun 1996, DePaulo dan rekan mengambil data dari 147
orang dengan rentang umur 18 hingga 71 tahun yang memiliki buku harian tentang
kebohongan yang mereka ucapkan setiap minggu.
Dalam sebuah hubungan, kebohongannya tentu terjadi. Kebohongan terjadi
satu dari dua percakapan antara hubungan remaja dan orang tua. Dalam hubungan
romantis, 85% pasangan yang diwawancara pada penelitian tahun 1990 dilaporkan
bahwa satu atau sepasang kekasih telah berbohong tentang hubungan masa lalu.
Sedangkan dalam hubungan pernikahan, pasutri hanya berbohong sekitar 10% dari
pembicaraan utama. Namun 10% itu hanyalah kebohongan-kebohongan kecil karena kebohongan
besarnya melibatkan pengkhianatan yang dalam, yang terjadi secara luas di
antara dua orang yang terlibat hubungan intim. “Kamu menyimpan kebohongan
terbesarmu,” ujar DePaulo, “untuk orang yang sangat dekat denganmu.”
Penelitian menemukan bahwa semakin individu dengan seseorang, maka
kebohongan yang disampaikan sifatnya lebih altruistik atau mengutamakan
kepentingan orang lain. Ini banyak terjadi di perempuan. Meskipun semua jenis
kelamin berbohong dalam frekuensi yang sama, namun perempuan berbohong dengan
maksud untuk melindungi perasaan seseorang. Sementara itu laki-laki cenderung
berbohong tentang dirinya—tipikal percakapan diantara dua orang laki-laki
mengandung delapan kali kebohongan yang sifatnya berorientasi terhadap diri.
Lalu siapa yang suka berbohong? Menurut Journal of Personality
and Social Psychology, DePaulo dan Deborah A. Kashy, Ph.D.,
melaporkan bahwa para pembohong cenderung manipulatif. Penelitian lainnya
menunjukkan bahwa orang-orang yang ekstrovert atau yang lebih suka bersosialisasi
lebih cenderung berbohong, dan beberapa trait kepribadian dan fisik—terutama
kepercayaan diri dan keadaan fisik yang lebih atraktif—dihubungkan dengan
kemampuan individu berbohong saat berada di bawah tekanan.
Apakah kebohongan dapat dideteksi? Jawabannya, bisa. Geoffrey C. Bunn,
Ph.D., seorang psikolog dan sejarahwan poligraf di Canada’s York University
menyebutkan bahwa lie detector dinyatakan bukan instrumen
ilmiah atau hanya sebuah instrumen hiburan saja. Alat itu mendeteksi ketakutan,
bukan kebohongan. Beberapa penelitian mengatakan bahwa kebohongan dalam
dideteksi dengan cara keragu-raguan dalam berbicara atau ada perubahan nada
pada suara, mengenal beberapa kebiasaan nervousseperti menggaruk,
mengedip, atau gelisah. Selain itu juga ada pola yang bisa diprediksi dari
seseorang yang sedang berbohong misalnya pembohong jarang menggunakan kata
ganti pertama ‘saya’ dalam menulis atau berbicara. Mereka juga sering
menggunakan kata-kata yang emosional seperti sakit atau marah, kata-kata
kognitif seperti mengerti atau memahami.
Orang-orang berbohong dengan alasan yang berbeda. Semua orang
melakukannya. Beberapa orang frekuensi berbohongnya lebih banyak dari orang
lain. Dan karena begitu terkaitnya dengan kehidupan keseharian, bohong hanya
menjadi sifat lain dalam diri manusia saja.
Interesting article. A very simple supporting example would be ketika kita ketemu teman atau kenalan, lalu bertanya, atau ditanya: 'Apa kabar?'
ReplyDeletePernah ga ada yang bilang "Ga baek". Pasti 99% bakal jawab: "Baik.", walaupun sebenarnya kabar mereka "tidak baik". Kemungkinan sih gara-gara males bercerita atau males ditanya lebih panjang lagi.
Namun, bagaimana dengan orang-orang yang menolak untuk membiarkan kejadian mereka menentukan keadaan mereka? Orang-orang yang berkata 'Dahsyat', walaupun ditengah badai kehidupan karena psikologi self-fulfilling prophecy? Apakah mereka bohong? Atau mereka memilih sikap hati yang positif?
Pak Suwandy, sebelumnya terima kasih atas komentar Anda. Lalu, untuk mengomentari pertanyaan Anda:
DeleteMenurut saya, dalam proses self-fulfilling prophecy, individu sudah sedikit enggaknya berbohong. Apakah itu membohongi orang lain atau diri sendiri.
Bedanya adalah ketika seseorang melakukan self-fulfilling prophecy, he actually believes it or he thinks he does. Perlu diingat, biasanya proses self-fulfilling prophecy dapat terjadi apabila anda sudah berulang-ulang mengatakan (bagian di mana you are lying) dan berpikir tentang pesan yang ingin Anda terapkan. Misalnya: Apabila anda sudah berulang-ulang mengatakan dan berpikir bahwa Anda merasa sangat buruk hari ini (prophecy) maka Anda akan mendapatkan pesan yang sama di Self-Awareness Anda. Kemudian, segala sesuatu yang ada di sekeliling Anda akan dipandang negatif oleh diri Anda sendiri, itulah yang akan membuat Anda bad mood. At last, your prophecy of feeling bad will come out to be true.
Dari penjelasan saya, dapat saya simpulkan bahwa dalam melakukan self-fulfilling prophecy sebenarnya seseorang juga telah berbohong, walaupun sedikit dan terkesan membohongi diri sendiri (terlebih dahulu). Namun, tidak berarti self-fulfilling prophecy adalah hal yang buruk.
Terima kasih. :)